Rabu, 13 Agustus 2008

Dimenangkan PTUN, Partai Buruh "Dapat Nomor 44"

JAKARTA, RABU-Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memenangkan gugatan empat partai politik (parpol) peserta Pemilu 2009 terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam putusannya, Rabu (13/8), di Jakarta, PTUN mewajibkan KPU menetapkan parpol peserta Pemilu 2004 menjadi parpol peserta Pemilu 2009.
"Bunyi putusan PTUN adalah mewajibkan KPU menetapkan parpol peserta Pemilu 2004 menjadi parpol peserta Pemilu 2009," ujar Ketua Umum Partai Buruh Muchtar Pakpahan kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (13/8).
Dengan putusan PTUN ini maka Partai Buruh, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), Partai Merdeka, dan Partai Syarikat Indonesia (PSI), boleh mengikuti Pemilu 2009. Sebelumnya mereka dinyatakan tidaka memenuhi syarat, inilah yang kemudian membuat mereka mengajukan gugatan ke PTUN.
Menurut Muchtar, Partai Buruh kini tinggal menunggu Surat Keputusan KPU untuk menetapkan keikutsertaannya dalam Pemilu 2009. Mengenai nomor urut, Muchtar mengaku sudah melakukan undian dengan tiga partai lainnya. "Kami dapat nomor 44, kami berempat sudah mengadakan undian sendiri," katanya.
Dalam aturan KPU, partai nasional peserta Pemilu 2009 nomor urutnya dari nomor 1 hingga 34. Sementara nomor 35 hingga 40 diberikan kepada partai lokal di Aceh
ROY Sent from my BlackBerry © Wireless device from XL GPRS/EDGE/3G Network

http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/13/16144167/dimenangkan.ptun.partai.buruh.dapat.nomor.44

Sabtu, 26 Juli 2008

Sistem dan Moral Pejabat Rusak Membuat Indonesia Terpuruk

Sistem dan Moral Pejabat Rusak Membuat Indonesia TerpurukJakarta, PelitaAda dua hal sangat substansial yang mengakibatkan Indonesia terpuruk dan rakyat sengsara, yaitu sistem pengelolaan negara yang tidak baik dan moral pejabat yang rusak. Karena itu kedua masalah harus diperbaiki mulai dari sekarang, setelah 100 tahun Kebangkitan Nasional.Demikian antara lain benang merah yang bisa ditarik dari diskusi panel Komitmen Pemerintah Terhadap Rakyat yang diselenggarakan Forum Komunikasi Massa yang bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Rabu (28/5). Hadir sebagai pembicara Wakil Ketua DPD La Ode Ida, Ketua DPP PD Sutan Batoegana, Ketua DPP PKS Rama Pratama, Ketua Plh PKN PDP Roy BB Janis, Wakil Ketua Umum DPP PDS Denny Tewu, Peneliti Lippi Dr Siti Zuhro dan Pakar Hukum Tatanegara Irman Putra Sidin.Peneliti Lippi Siti Zuhro menegaskan, Indonesia memang belum sampai pada status falling state, tetapi lambat laun pasti bisa terjadi, karena sistem pengelolaan negara yang salah dan moral pejabat yang rusak dan yang tidak amanah.Ke depan (Pemilu 2009) yang dibutuhkan Indonesia adalah pemimpin yang amanah (konsisten memegang dan melaksanakan janji), pemimpin yang strong leadership yang datang dan tampil untuk menyelesaikan masalah tanpa ragu-ragu. Dia mengatakan, melalui semangat 100 tahun Kebangkitan Nasional Indonesia harus berubah dalam semua aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan berkehidupan sosial yang sejahtera. Itu harus dimulai dari partai politik yang menjadi pilar demokrasi dan dapur kekuasaan. Negara ini pasti hancur jika partai politik tidak melakukan perubahan mendasar dalam rekrutmen, memilih dan menetapkan calon pemimpin yang amanah dan mermoral tinggi, tegas Siti Zuhro.Sedangkan Ketua Plh PKN PDP Roy BB Janis berpendapat, kedudukan rakyat yang terhormat hanya saat Pemilu. Sanjungan, perhatian dan janji-janji diberikan kepada rakyat, tetapi setelah hajat besar politik selesai, selesai pulalah kesemua itu.Dari realitas itu terlihat betul bahwa komitmen pemimpin bangsa ini lebih pada komunikasi politik tanpa subtansial. Inilah yang dimaksud dengan tidak amanah dan tidak bermoral. Para pemimpin lupa pada rakyat setelah semua tujuan tercapai, tegas dia.Dari kenyataan itu, kata Roy BB Janis, menjadikan kita bertanya. Apakah sistem pemerintahan ini yang salah atau moral pemimpin bangsa ini yang bobrok. Dulu kita punya garis-garis besar haluan negara (GBHN) yang mengikat pejabat dan pemimpin bangsa bertanggungjawab atas amanat yang diberikan rakyat.Sekarang, ungkapnya, GBHN dihapus, sistem kerja pemerintah acak-acakan dan tidak bertanggungjawab atas amanah yang diembankan ke atas pundak mereka.Sehubungan dengan itu dia menginginkan sistem yang baik pada masa lalu harus diteruskan. Kembalikan GBHN sebagai pedoman pembangunan dan segera lahirkan UU tentang kepresidenan, supaya siapapun yang menjadi presiden harus patuh pada UU tersebut.Buang kultur burukSenada dengan Roy BB Janis, Ketua DPP Partai Demokrat Sutan Batoegana menegaskan, sistem pemerintahan di bawah kepemimpinan almarhum Presiden Soeharto sudah bagus, banyak yang perlu diambil dan diteruskan. Tetapi sayang para pembantunya yang tidak benar.Sutan Batoegana mengajak bangsa ini membuang habis kultur yang tidak baik, yang selalu memandang pemerintahan dari sisi gelapnya saja. Semua pemimpin sudah bekerja dengan baik untuk rakyatnya, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Persoalannya adalah para menterinya yang tidak baik, selalu melakukan penyerangan. Saya sudah katakan itu kepada Presiden Yudhoyono. Pak, mestinya bapak bisa mengendalikan para menteri agar pemerintahan ini bisa jalan sesuai program, ujar Batoegana.Oleh karena itu, katanya, Pemilu 2009 harus menghasilkan single mayority agar pemerintahan menjadi kuat. Dengan demikian presiden bisa menerapkan sistem yang baik dan benar dan para pembantunya patuh dan taat penuh tanggungjawab. Pakar Hukum Tatanegara Irman Putra Sidin menegaskan, mestinya DPR langsung saja menggunakan hak menyatakan pendapat jika melihat ada indikasi pelanggaran yang dilakukan pemerintah.Hak interpelasi atau pun hak angket sudah tidak bisa lagi bisa diharapkan, karena para menteri setiap saat bisa dinego. Ini penting kalau negara ini betul-betul ingin menerapkan sistem yang baik dan membentuk aparat yang bermoral, tegas dia.Dengan penggunaan hak berpendapat, maka Mahkamah Konstitusi (MK) bisa menindaklanjuti apakah benar pemerintah sudah melanggar konstitusi. MK akan memberikan rekomendasi kepada MPR jika benar terlah terjadi pelanggaran UU oleh pemeritah.Ditempat terpisah anggota Forum Kajian Ilmiah Konstitusi (FKIK) Amin Aryoso SH menyatakan prihatin, bahwa setelah melalui empat kali amendemen, konstitusi yang dihasilkan dinilai amburadul dan merugikan bangsa Indonesia. Perubahan UUD 1945 bukannya semakin baik, tapi hanya menghasilkan Konstitusi Reformasi atau UUD 2002, yang proses dan substansinya dinilai amburadul dan merugikan Presiden dan rakyat Indonesia, kata dia.Karena itu, ia berpendapat sosialisasi Konstitusi Reformasi atau UUD 2002 sebaiknya dihentikan, karena amandemen yang dilakukan itu hanya atas kemauan para elite politik pimpinan MPR periode 1999-2004 saja, tidak mendapat mandat khusus dari rakyat. (kh)

http://www.hupelita.com/baca.php?id=50011

IMPLIKASI PUTUSAN MK TERHADAP PESERTA PEMILU 2009

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 12/PUU-VI/2008 tanggal 10 Juli 2008 telah menyatakan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian pasal itu dinyatakan “tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat”. Putusan ini mengabulkan permohonan uji materil tujuh partai politik peserta Pemilu 2004 yang berdasarkan ketentuan Pasal 316 huruf d itu tidak dibolehkan ikut Pemilu 2009, karena mereka tidak memiliki kursi di DPR. Ketujuh partai itu ialah PPD, PPIB, PNBK, Partai Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Sarikat Indonesia dan Partai Merdeka. Ini berbeda dengan sembilan partai lainnya, yakni PBR, PDS, PBB, PPDK, Partai Pelopor, PKPB, Partai PDI, PKPI dan PNI Marhaenis, meskipun tidak memenuhi syarat electroral treshold sebagaimana diatur oleh Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, namun dibolehkan ikut Pemilu 2009 berdasarkan ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008, karena mereka mempunyai kursi di DPR. Ketujuh partai pemohon pengujian berpendapat bahwa ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 208 itu bersifat diskriminatif, tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan asas keadilan.
Apakah implikasi putusan MK tersebut terhadap sembilan partai yang telah dinyatakan secara resmi ikut Pemilu 2009. Apa pula implikasinya kepada tujuh partai yang dinyatakan oleh KPU tidak boleh ikut dalam Pemilu 2009? Apakah putusan MK itu dapat menunda pelaksanaan Pemilu 2009? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini datang dari berbagai pihak, termasuk pula dari Keluarga Besar Bulan Bintang di seluruh tanah air. Dalam Rapat Harian DPP PBB di Pasar Minggu tadi malam, saya menjelaskan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, putusan mahkamah tentang pengujian sebuah undang-undang, baru berlaku – dalam makna mempunyai kekuatan hukum tetap — sejak putusan itu selesai dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Putusan MK itu tidak mempunyai kekuatan berlaku surut atau retroaktif. Putusan MK itu baru berlaku sejak kemarin, tanggal 10 Juli 2008, sejak putusan itu selesai dibacakan. Sebelum tanggal itu, putusan itu belum ada, dengan demikian ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008 itu adalah pasal yang sah, berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam teori maupun praktik penerapan hukum, jika suatu ketentuan hukum dibatalkan, dicabut atau dinyatakan tidak berlaku di kemudian hari, maka akibat hukum dari suatu perbuatan, tindakan ataupun kebijakan yang didasarkan pada ketentuan itu sebelum dinyatakan tidak berlaku, tetaplah merupakan tindakan yang sah dan mengikat. Akibat hukum itu tidak terpengaruh oleh dinyatakan tidak berlakunya ketentuan itu di kemudian hari. Ini adalah asas kepastian hukum yang harus dijunjung tinggi. Saya memberikan contoh Perpu Nomor 2 Tahun 2002, yang memberlakukan surut Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Terorisme kepada pelaku peledakan bom di Bali, telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi dalam sidang pengujian terhadap undang-undang, karena Perpu itu dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun putusan itu tidaklah membatalkan putusan pengadilan terhadap pelaku peledakan bom di Bali, karena putusan telah mempunyai kekuatan mengikat, sebelum MK menyatakan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 itu bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Kepada peserta Rapat Harian DPP PBB tadi malam, saya memberi contoh di dalam hukum perdata, bahwa sebuah perkawinan yang sah dapat dibatalkan di kemudian hari, apabila ternyata ada salah satu larangan perkawinan yang dilanggar. Misalnya sebuah pasangan telah menikah selama sepuluh tahun, tetapi belakangan hari baru diketahui bahwa pasangan itu adalah bersaudara kandung. Hal ini mungkin terjadi karena suatu keadaan, misalnya bencana alam, peperangan dan sebagainya yang membuat anak-anak terpisah satu sama lain sehingga mereka tidak saling mengenal lagi. Perkawinan tersebut dapat dibatalkan demi hukum, namun segala perbuatan dan tindakan selama perkawinan belum dibatalkan, beserta akibat-akibat hukumnya adalah sah. Kalau dari perkawinan lahir anak-anak, maka anak-anak itu tetaplah anak yang lahir dari perkawinan yang sah. Kakau kedua pasangan itu selama perkawinan melakukan perikatan perdata dengan pihak ketiga, maka perikatan itu tetap berlaku, meskipun di kemudian hari perkawinan itu dibatalkan.
Berdasarkan asas hukum yang telah saya uraikan dan kedua contoh di atas, saya ingin menegaskan bahwa Putusan MK yang menyatakan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan dengan demikian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidaklah mempengaruhi keabsahan keputusan KPU yang menyatakan 34 partai politik ikut Pemilu 2009, termasuk sembilan partai yang tidak lulus treshold menurut UU Nomor 12 Tahun 2003, tetapi dibolehkan oleh Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008. Keputusan itu tidak dapat dibatalkan karena putusan MK tidak berlaku surut. Tahapan-tahapan Pemilu yang telah dilaksanakan oleh KPU yang juga didasarkan atas UU Nomor 10 Tahun 2008 itu tetap berjalan sebagaimana mestinya, termasuk undian nomor urut peserta Pemilu yang telah dilakukan tiga hari yang lalu. Sdr. Ferry Mursyidan Baldan dari Golkar, Hamdan Zulva dari PBB dan Andy Nurpatti dari KPU berpendapat sama, yakni putusan MK tidak berlaku surut. Namun, Andy mengatakan, KPU akan konsultasi dengan Presiden dan DPR dalam menyikapi putusan MK itu. Sebagian pengamat berpendapat putusan MK itu tidak ada artinya, karena tidak dapat dilaksanakan dalam praktik.
Apa yang tersisa dari putusan MK di atas ialah nasib tujuh partai politik yang memohon uji materil tersebut. Akankah mereka ikut dalam Pemilu 2009? Seperti telah saya uraikan di atas, sejak adanya putusan MK tanggal 10 Juli, maka ketentuan Pasal 316 huruf d sudah tidak berlaku lagi dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sementara ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 yang mengatur electoral treshold untuk Pemilu 2009 praktis tidak berlaku lagi, karena UU tersebut telah dicabut oleh UU Nomor 10 Tahun 2008. Dengan demikian, kini terjadi kevakuman hukum tentang aturan mengenai electoral treshold sebagai sayarat untuk ikut dalam Pemilu 2009. Kevakuman hukum itu dapat diatasi jika dalam waktu singkat Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), atau DPR dan Presiden segera membuat undang-undang untuk mengisi kevakuman itu. Namun kalau ini dilakukan, proses pelaksanaan Pemilu, bahkan hari pemungutan suara itu sendiri, dapat tertunda. Proses penerbitan Perpu, apalagi membuat undang-undang, akan memakan waktu. Padahal seluruh tahapan Pemilu harus berjalan sesuai jadual.
Dalam situasi vakum seperti itu, saya berpendapat, semuanya terserah kepada KPU. Lembaga ini dapat menetapkan suatu kebijakan diskretif sebagaimana dikenal dalam hukum administrasi negara. Dapat saja KPU memutuskan tujuh partai itu ikut Pemilu, dan ini berakibat dilakukan undian ulang nomor urut peserta Pemilu, atau diundi di antara tujuh partai itu saja mulai dari nomor urut 35. Namun persoalan lain muncul pula, karena sebagian dari tujuh partai itu pengurusnya telah mendirikan partai baru dan dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU untuk ikut Pemilu 2009. Partai baru yang telah memenuhi syarat itu agaknya tidak mungkin akan mundur dari keikutsertaannya dalam pemilu 2009. Partai yang agak unik, nampaknya adalah Partai Buruh Sosial Demokrat pimpinan Dr. Muchtar Pakpahan. Partai beliau ini, kini termasuk kategori partai yang terkena kevakuman hukum itu. Beliau telah mendirikan partai baru, namun partai baru itu dinyatakan KPU tidak memenuhi syarat ikut Pemilu 2009. Namun demikian, bisa saja KPU mengambil kebijakan di tengah kevakuman hukum, untuk mengikuti partai lama yang dipimpin Dr. Muchtar Pakpahan itu.
Demikianlah tanggapan saya atas Putusan Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan banyak tanda tanya di kalangan warga bangsa kita yang berkepentingan dengan Pemilu 2009. Kepada Keluarga Besar Bulan Bintang khususnya, saya serukan untuk tetap tenang. Teruskan semua kegiatan dan persiapan menghadapi Pemilu 2009. Seperti telah saya katakan kita tidak punya pilihan lain. Hanya Ada Satu Kata: Maju!
Fastabiqul khairat
Oleh Yusril Ihza Mahendra — July 11th, 2008

Jangan Biarkan Pemilu Melanggar UUD 1945

Jumat, 11 Juli 2008
KEBERADAAN 9 partai politik (parpol) di antara 34 parpol yang baru saja dinyatakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) lolos dan berhak ikut pemilihan umum (Pemilu) 2009, kini menghadapi ganjalan. Keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang membatalkan Pasal 316 huruf d UU 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPR dan DPRD, di Jakarta, kemarin, membuat keberadaan 9 partai lama (peserta Pemilu 2004) yang langsung lolos meski tak memenuhi ketentuan electoral threshold itu diragukan keabsahan mereka sebagai peserta Pemilu 2009.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara yang diajukan oleh tujuh parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold dan juga tidak mempunyai kursi (wakil) di DPR, menyatakan bahwa Pasal 316 huruf d UU No.10 Tahun 2008 (UU 10/2008) itu bertentangan dengan UUD 1945, karena memberikan perlakuan yang tidak sama kepada parpol yang kedudukannya sama.
Sementara Pasal 316 huruf d UU 10/2008 berbunyi: Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan: d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004.
Pasal 315 berbunyi: Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.
Pasal 316 d UU 10/2008 itu meloloskan 9 partai sebagai peserta Pemilu 2009, karena meski tidak memenuhi electoral threshold mereka memiliki wakil di DPR. Namun sebaliknya mendepak 7 partai lainnya, karena tidak memenuhi satu dari dua pasal yang ada.
Ke-9 partai yang tidak memenuhi ketentuan electoral threshold tapi bebas verifikasi KPU untuk ikut Pemilu 2009 adalah PNI Marhaenisme, PPDI, PDS, PBR, PBB, PKPB, PDK, Partai Pelopor, dan PKPI. Sedang 7 partai yang harus mengikuti verifikasi untuk ikut Pemilu 2009 seperti halnya partai-partai baru adalah Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Sarikat Indonesia (PSI), dan Partai Merdeka.
Mengingat putusan MK adalah bersifat final, langsung memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak ada proses banding, kasasi, atau pun peninjauan kembali (PK), maka 7 parpol yang tidak memenuhi electoral threshold sangat beralasan bila menuntut agar diberlakukan sama dengan 9 partai yang lolos tanpa verifikasi.
Kita tak perlu sinis terhadap keputusan itu, apalagi menilai MK hanya ingin menyenangkan semua pihak. Sebagai pengawal konstitusi, jelas MK tak ingin main-main dengan keputusan mereka. Dan, bagi yang mendukung, tentu tak perlu terburu-buru pula mendesak agar KPU menganulir keabsahan 9 partai peserta Pemilu 2009 yang dipersoalkan. Yang perlu dicari adalah jalan tengah, tidak melanggar konstitusi, tetapi juga tidak berdampak terganjalnya tahapan persiapan pemilu itu sendiri.
Berdasarkan keputusan MK kita juga tidak perlu serta-merta minta KPU meralat kembali hasil penentuan nomor urut yang telah dilakukan. Tapi agar Pemilu 2009 tidak cacat hukum dan hasil-hasil pemilu itu tidak melanggar UUD 1945, maka semua pihak harus berupaya mencari solusi terbaik. Dan, kita juga tak perlu menyalahkan DPR apalagi menuding mereka tidak mempedulikan konstitusi dalam melahirkan undang-undang.
Ada beberapa langkah yang mungkin bisa ditempuh. Misal, DPR dengan segera merevisi UU 10/2008. Atau jika DPR sedang reses, pemerintah segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sebagai patokan bagi KPU dalam mengambil langkah. Atau bisa pula KPU meloloskan seluruh parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak lolos electoral treshold. Kebetulan hanya ada 4 partai lama itu yang tak lolos, yakni Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Sarikat Indonesia, Partai Merdeka, dan Partai Nasional Ulama Indonesia. Pemilu 2009 harus diselamatkan, tidak terancam batal demi hukum akibat melanggar UUD 1945.***


http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=204258

Pemilu 2009 Melanggar Konstitusi

Kamis, 17 Juli 2008 00:46 WIB
Oleh Denny Indrayana

Konstitusionalitas Pemilihan Umum 2009 di ujung tanduk. Hal itu terkait putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU No 10/2008) bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal itu mengatur, ”Partai politik peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan: ... d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004”. Ketentuan inilah yang menjadi tiket gratis bagi sembilan partai peserta Pemilu 2004 berkursi di DPR meski tidak lolos electoral threshold untuk otomatis menjadi peserta Pemilu 2009.
Pertanyaannya, apakah setelah putusan MK itu, sembilan parpol masih konstitusional menjadi peserta Pemilu 2009?

Pasal manipulatif dan diskriminatif
Pasal 316 huruf d memang norma hukum yang manipulatif karena proses perumusannya nyata-nyata dipenuhi perselingkuhan kepentingan di antara partai besar dan partai kecil di DPR. Ambang batas pemilu yang sebelumnya disyaratkan untuk peserta Pemilu 2009, dengan mudah dinafikan. Penafian itu menyebabkan agenda penyederhanaan parpol tak terjadi. Konsekuensinya, sistem presidensial kita tetap rapuh karena berpijak pada sistem multipartai yang semakin tak sederhana.
Lebih jauh, MK juga menegaskan pasal demikian diskriminatif karena, ” ... Pasal 316 huruf d UU No 10/2008 justru menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold”. Karena sifat merusaknya yang manipulatif dan diskriminatif itu, maka amat tepat putusan MK yang menyatakan Pasal 316 huruf d bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dilema prospektivitas putusan
Masalahnya, apakah dengan putusan MK, maka kepesertaan sembilan parpol berdasar Pasal 316 huruf d menjadi otomatis bertentangan dengan UUD 1945?
MK memutuskan, Pasal 316 huruf d bertentangan UUD 1945 karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Logika sederhananya, keikutsertaan parpol dalam Pemilu 2009, yang hanya bersandar norma 316 huruf d, wajib dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Masalahnya, UU MK membatasi putusan berlaku prospektif. Pasal 47 UU MK mengatur putusan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Lebih jauh, Pasal 58 UU MK menegaskan, UU yang diuji MK tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan, UU itu bertentangan dengan UUD. Berdasar dua pasal itu, maka penetapan sembilan parpol oleh KPU sebagai peserta pemilu 2009, yang dilakukan sebelum dibacakan putusan MK, secara prosedural memang masih sesuai dengan UUD 1945.
Namun, berpendapat tentang konstitusionalitas, keikutsertaan sembilan parpol hanya berdasar dua pasal UU MK itu, jelas mengganggu akal sehat meski mungkin tak akan mengganggu logika kepentingan politik yang absurd. Bagaimana mungkin, sembilan parpol sah mengikuti Pemilu 2009 jika satu-satunya dasar konstitusionalitas menjadi peserta Pemilu 2009, yang ditetapkan KPU 7 Juli 2008, telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh putusan MK sejak 8 Juli 2008.
Dalam menetapkan parpol peserta Pemilu 2009, sehari sebelum putusan MK, KPU mendasarkan pada ketentuan Pasal 315 dan 316 huruf d UU No 10/2008. Alangkah absurdnya logika prosedural yang keras kepala tidak merevisi keputusan KPU, padahal sehari setelahnya Pasal 316 huruf d diputuskan bertentangan dengan UUD 1945. Logika normal menyatakan, keputusan KPU tentang parpol peserta pemilu harus disesuaikan putusan MK agar Pemilu 2009 tak pula bertentangan dengan UUD karena diikuti parpol yang dasar hukum keikutsertaannya telah nyata-nyata diputuskan bertentangan dengan UUD.
Apalagi, harap dicatat, Pasal 316 huruf d adalah ketentuan peralihan, yang hanya berlaku satu kali semata pada Pemilu 2009. Maka, adalah logika koruptif-manipulatif, yang mengatakan, putusan MK dapat dilaksanakan setelah pemilu 2009. Seharusnya, putusan MK mempunyai dampak yuridis konstitusional pada pelaksanaan Pemilu 2009. Putusan MK yang membatalkan Pasal 316 huruf d yang hanya diterapkan untuk Pemilu 2009, tetapi tidak dilaksanakan untuk menilai konstitusionalitas peserta Pemilu 2009, adalah justru bertentangan dengan konstitusionalitas putusan MK itu sendiri.

Perpu sebagai solusi
Semua pihak seharusnya sadar dan berpikir jernih bahwa konstitusionalitas Pemilu 2009—baik pemilihan anggota parlemen maupun pemilihan presiden—sedang dipertaruhkan. Setelah putusan MK menyatakan Pasal 316 huruf d bertentangan dengan UUD 1945, maka sembilan parpol yang menjadi peserta pemilu semata-mata berdasarkan pasal itu harus diargumentasikan bertentangan dengan konstitusi.
Jika pemilu legislatif 2009, pemilu presiden 2009, dan seluruh hasilnya tetap mengikutsertakan parpol berdasar Pasal 316 huruf d yang bertentangan dengan UUD, maka seluruh pelaksanaan Pemilu 2009 dihalalkan melanggar konstitusi.
Untuk menyelamatkan konstitusionalitas Pemilu 2009, tidak ada jalan lain selain semua pihak mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Perpu dengan kegentingan yang memaksa untuk menyelamatkan Pemilu 2009 itu paling tidak mengatur perubahan UU No 10/2008 terkait proses verifikasi bagi sembilan parpol di DPR yang tidak lolos electoral threshold Pemilu 2004.
Presiden, DPR, MK, dan KPU sebaiknya duduk bersama untuk berkoordinasi terkait hadirnya perpu ini agar kita semua sebagai bangsa tidak secara berjemaah membiarkan Pemilu 2009 melanggar konstitusi.

Denny Indrayana Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

Senin, 14 Juli 2008

Perpu sebagai tindak lanjut dari Keputusan Makamah Konstitusi

Makamah Kontitusi telah membuat keputusan yang menyatakan bahwa pasa 316 Huruf d UU no tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 10/2008) bertentangan dengan UUD 1945. Hal yang disorot dalam keputusan tersebut adalah adanya ketidak adilan dalam memperlakukan peraturan terhadap Partai Politik peserta PEMILU 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Electroral Threshold 2,5 %, dimana Parpol yang memiliki Kursi di DPR dianggap langsung lolos menjadi peserta PEMILU 2009 tanpa melalui proses Verifikasi. Sedangkan Partai politik yang tidak memiliki Kursi di DPR harus mengikuti verifikasi.

Banyak pihak yang menyikapi hasil keputusan Makamah Konstitusi ini, ada yang pro dan tentu saja yang kontra. Pihak Komisi Pemilihan Umum, beragumentasi bahwa pihaknya hanyalah sebagai eksekutor dari peraturan yang berlaku, dan telah melaksanakan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Proses pemilu sudah dijalankan, sedangkan keputusan dari Makamah konstitusi baru keluar setelah proses penetapan peserta pemilu 2009 ditetapkan, sehingga tidak dapat dihentikan mengingat telah ditetapkannya waktu pelaksanaan PEMILU tersebut.

Apabila keputusan Makamah Konstitusi ini tidak diakomodasi, bisa berakibat,PEMILU 2009 tidak sesuai dengan ketetapan hukum, karena pelaksanaan PEMILU nya sendiri baru dilaksanakan setelah keputusan Makamah konstitusi tersebut diputuskan.

Didalam keputusan tersebut, Makamah Konstitusi berkesimpulan bahwa Undang-undang Pemilu tersebut tidak konsisten dan tidak menganut asas keadilan. Sebagai jalan keluarnya Pemerintah sebagai lembaga yang mengayomi kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini harus segera bertindak untuk mengeluarkan peraturan pelaksanan yang menjabarkan keputusan MK tersebut menjadi suatu petunjuk pelaksana yang dapat dijalankan oleh KPU dalam bentuk Kepres atau Perpu.

Dalam peraturan pelaksanaan tersebut pemerintah dapat memperjelas apa yang sudah ditetapkan didalam Keputusan MK. Makamah konstitusi memberikan 2 pilihan alternatif agar Undang-undang Pemilu sesuai dengan UUD 1945 :
Seluruh Partai Politik yang tidak memenuhi Electroral threshold harus mengikuti proses verifikasi, termasuk Partai Politik yang memiliki wakil di DPR. Dampaknya KPU harus menganulir keputusan yang menyatakan bahwa Partai Politik yang tidak memenuhi Electroral Threshold tetapi memiliki wakil di DPR sebagai peserta PEMILU. Dan pada partai tersebut dilakukan proses verifikasi ulang. Apabila hasil verifikasi menyatakan Partai tersebut memenuhi syarat, barulah dapat kembali menjadi peserta PEMILU. Dan tentu saja selama proses tersebut belum selesai, Partai Politik tersebut tidak diperkenankan untuk mengikuti proses tahapan PEMILU.
Alternatif kedua adalah, Pemerintah bisa mengeluarkan perpu yang menyatakan bahwa UU Pemilu pasal 316 Huruf d UU no 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum tidak berlaku, dan sebagai dampaknya Partai politik yang tidak lolos Electroral Threshold dan tidak memiliki wakil di DPR dapat dinyatakan sebagai Peserta Pemilu 2009.

Keputusan ini harus segera ditetapkan oleh Pemerintah, mengingat dampaknya kepada hasil PEMILU 2009, yang merupakan sebagai dasar proses untuk memilih perwakilan rakyat yang akan duduk di DPR, dan DPRD. Kalau Pemilu tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang ditetapkan, tentu saja hasilnya bisa dianggap tidak sah atau minimal tidak memberikan representatif dari seluruh bangsa Indonesia. Dan tentu saja hal yang dimulai dengan tidak sesuai dengan rasa keadilan dan konsistensi yang tercemin dalam UUD 1945 akan berakhir dengan hal yang akan menciptakan ketidak konsistesian dan keadilan dalam pelaksanaannya.

Hal ini bisa menjadi suatu preseden bagi proses legislasi bagi pembuatan undang-undang masa depan. Kalau pemerintah segera menetapkan Perpu, KPU segera melaksanakannya. Bisa memberikan gambaran kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia Internasional bahwa tidak ada kesempatan bagi ketidak adilan untuk tumbuh dibumi Indonesia ini.

Selain itu hal ini juga bisa memberikan gambaran bahwa Makamah Konstitusi telah dapat bersikap Objektif tanpa melihat kepentingan dari pihak-pihak, dan sebagai teguran bagi pembuat undang-undang dimasa yang akan datang untuk dapat membuat atau menetapkan undang-undang yang sesuai dengan asas-asas yang ada di dalam UUD 1945. Walaupun Partai Politik merupakan institusi untuk memperjuangkan kepentingan, tentu saja para anggota Parpol yang duduk di badan legislasi harus tetap mengacu kepada asas-asas yang terdapat didalam Pancasila dan UUD 1945.

Mari kita tunggu, Wait and See ……
Apakah Pemerintah cukup tanggap dalam mengambil keputusan cepat yang akan berdampak bagi bangsa ini di masa yang akan datang.

Semoga diberi petunjuk dari yang MAHA TAHU, yang mengetahui isi hati kita semua, tanyakan pada diri sendiri mana yang benar,dan mana yang salah.

PASAL 316 HURUF D UU 10/2008 BERTENTANGAN DENGAN KONSTITUSI

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Pasal 316 huruf d UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 10/2008) bertentangan UUD 1945. Hal ini dikarenakan aturan tersebut memberikan perlakuan yang tidak sama kepada mereka yang kedudukannya sama, yaitu partai politik (Parpol) yang memiliki wakil di DPR dan yang tidak memiliki wakil di DPR (yang tidak memenuhi electoral threshold). Hal tersebut dinyatakan MK dalam sidang pengucapan putusan perkara 12/PUU-VI/2008 di Ruang Sidang MK, Kamis (10/07).
Perkara tersebut diajukan oleh tujuh Parpol yang tidak memenuhi electoral threshold dan tidak mempunyai kurasi di DPR, yaitu Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Sarikat Indonesia (PSI), dan Partai Merdeka.
“Parpol-parpol Peserta Pemilu 2004, baik yang memenuhi ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008 maupun yang tidak memenuhi, sejatinya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold, sebagaimana dimaksud baik oleh Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 maupun oleh Pasal 315 UU 10/2008,” ucap Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, membacakan Konklusi Putusan.
Pasal 316 huruf d UU 10/2008 berbunyi, “Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan: ….d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau….”. Sedangkan Pasal 315 berbunyi,“Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004”.
Lebih lanjut Jimly menyampaikan bahwa Pasal 316 huruf d UU 10/2008 merupakan ketentuan yang memberikan perlakuan yang tidak sama dan menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) terhadap sesama Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak mememenuhi ketentuan Pasal 315 UU 10/2008.
Dalam permohonannya, para Pemohon memang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 316 huruf d UU 10/2008 yaitu, “memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004”. Pada dasarnya, Parpol-parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 UU 10/2008 seharusnya sudah tidak berhak lagi menjadi peserta Pemilu 2009 karena tidak memenuhi ketentuan electoral threshold, kecuali memenuhi Pasal 9 ayat (2) UU 12/2003.
Menurut MK, ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008 tersebut tidak jelas ratio legis-nya apabila dikaitkan dengan masa peralihan dari prinsip electoral threshold ke parliamentary threshold. Artinya, apakah Pasal 316 huruf d UU 10/2008 bermaksud memberikan kemudahan untuk menjadi peserta Pemilu 2009 kepada seluruh Parpol Peserta Pemilu 2004 yang sesungguhnya tidak memenuhi electoral threshold yang ditentukan, ataukah karena pertimbangan bahwa UU 10/2008 menganut parliamentary threshold, maka kemudahan bersifat terbatas hanya diberlakukan kepada Parpol-parpol yang sudah memiliki kursi di parlemen (DPR).
Apabila bermaksud memberikan kemudahan, maka seharusnya semua Parpol Peserta Pemilu 2004 dengan sendirinya langsung dapat menjadi peserta Pemilu 2009, tanpa harus melalui proses verifikasi oleh KPU, baik verifikasi administratif maupun verifikasi faktual. Apabila bermaksud memberikan kemudahan terbatas, maka seharusnya, kemudahan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 yakni memenuhi ambang batas perolehan suara sah 2,5% dari suara sah secara nasional, tentu saja berdasarkan hasil Pemilu 2004, namun bukan berdasarkan perolehan kursi sebagaimana ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008.
Lagi pula, menurut MK, nilai kursi dalam sistem Pemilu 2004 tidak selalu mencerminkan besarnya perolehan suara, yakni ada Parpol yang jumlah perolehan suaranya secara nasional lebih banyak daripada perolehan suara Parpol yang memperoleh kursi di DPR. “Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 316 huruf d UU 10/2008 justru menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold, “ kata Hakim Konstitusi Mukthie Fadjar membacakan pendapat MK.Perlakuan yang tidak adil tersebut ditunjukkan dengan kenyataan bahwa ada Parpol yang hanya memperoleh satu kursi di DPR, kendati perolehan suaranya lebih sedikit dari pada Parpol yang tidak memiliki kursi di DPR, melenggang dengan sendirinya menjadi peserta Pemilu 2009, sedangkan Parpol yang perolehan suaranya lebih banyak, tetapi tidak memperoleh kursi di DPR, justru harus melalui proses panjang untuk dapat mengikuti Pemilu 2009, yaitu melalui tahap verifikasi administrasi dan verifikasi faktual oleh KPU. (Luthfi Widagdo Eddyono)