Sabtu, 26 Juli 2008

Pemilu 2009 Melanggar Konstitusi

Kamis, 17 Juli 2008 00:46 WIB
Oleh Denny Indrayana

Konstitusionalitas Pemilihan Umum 2009 di ujung tanduk. Hal itu terkait putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU No 10/2008) bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal itu mengatur, ”Partai politik peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan: ... d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004”. Ketentuan inilah yang menjadi tiket gratis bagi sembilan partai peserta Pemilu 2004 berkursi di DPR meski tidak lolos electoral threshold untuk otomatis menjadi peserta Pemilu 2009.
Pertanyaannya, apakah setelah putusan MK itu, sembilan parpol masih konstitusional menjadi peserta Pemilu 2009?

Pasal manipulatif dan diskriminatif
Pasal 316 huruf d memang norma hukum yang manipulatif karena proses perumusannya nyata-nyata dipenuhi perselingkuhan kepentingan di antara partai besar dan partai kecil di DPR. Ambang batas pemilu yang sebelumnya disyaratkan untuk peserta Pemilu 2009, dengan mudah dinafikan. Penafian itu menyebabkan agenda penyederhanaan parpol tak terjadi. Konsekuensinya, sistem presidensial kita tetap rapuh karena berpijak pada sistem multipartai yang semakin tak sederhana.
Lebih jauh, MK juga menegaskan pasal demikian diskriminatif karena, ” ... Pasal 316 huruf d UU No 10/2008 justru menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold”. Karena sifat merusaknya yang manipulatif dan diskriminatif itu, maka amat tepat putusan MK yang menyatakan Pasal 316 huruf d bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dilema prospektivitas putusan
Masalahnya, apakah dengan putusan MK, maka kepesertaan sembilan parpol berdasar Pasal 316 huruf d menjadi otomatis bertentangan dengan UUD 1945?
MK memutuskan, Pasal 316 huruf d bertentangan UUD 1945 karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Logika sederhananya, keikutsertaan parpol dalam Pemilu 2009, yang hanya bersandar norma 316 huruf d, wajib dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Masalahnya, UU MK membatasi putusan berlaku prospektif. Pasal 47 UU MK mengatur putusan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Lebih jauh, Pasal 58 UU MK menegaskan, UU yang diuji MK tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan, UU itu bertentangan dengan UUD. Berdasar dua pasal itu, maka penetapan sembilan parpol oleh KPU sebagai peserta pemilu 2009, yang dilakukan sebelum dibacakan putusan MK, secara prosedural memang masih sesuai dengan UUD 1945.
Namun, berpendapat tentang konstitusionalitas, keikutsertaan sembilan parpol hanya berdasar dua pasal UU MK itu, jelas mengganggu akal sehat meski mungkin tak akan mengganggu logika kepentingan politik yang absurd. Bagaimana mungkin, sembilan parpol sah mengikuti Pemilu 2009 jika satu-satunya dasar konstitusionalitas menjadi peserta Pemilu 2009, yang ditetapkan KPU 7 Juli 2008, telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh putusan MK sejak 8 Juli 2008.
Dalam menetapkan parpol peserta Pemilu 2009, sehari sebelum putusan MK, KPU mendasarkan pada ketentuan Pasal 315 dan 316 huruf d UU No 10/2008. Alangkah absurdnya logika prosedural yang keras kepala tidak merevisi keputusan KPU, padahal sehari setelahnya Pasal 316 huruf d diputuskan bertentangan dengan UUD 1945. Logika normal menyatakan, keputusan KPU tentang parpol peserta pemilu harus disesuaikan putusan MK agar Pemilu 2009 tak pula bertentangan dengan UUD karena diikuti parpol yang dasar hukum keikutsertaannya telah nyata-nyata diputuskan bertentangan dengan UUD.
Apalagi, harap dicatat, Pasal 316 huruf d adalah ketentuan peralihan, yang hanya berlaku satu kali semata pada Pemilu 2009. Maka, adalah logika koruptif-manipulatif, yang mengatakan, putusan MK dapat dilaksanakan setelah pemilu 2009. Seharusnya, putusan MK mempunyai dampak yuridis konstitusional pada pelaksanaan Pemilu 2009. Putusan MK yang membatalkan Pasal 316 huruf d yang hanya diterapkan untuk Pemilu 2009, tetapi tidak dilaksanakan untuk menilai konstitusionalitas peserta Pemilu 2009, adalah justru bertentangan dengan konstitusionalitas putusan MK itu sendiri.

Perpu sebagai solusi
Semua pihak seharusnya sadar dan berpikir jernih bahwa konstitusionalitas Pemilu 2009—baik pemilihan anggota parlemen maupun pemilihan presiden—sedang dipertaruhkan. Setelah putusan MK menyatakan Pasal 316 huruf d bertentangan dengan UUD 1945, maka sembilan parpol yang menjadi peserta pemilu semata-mata berdasarkan pasal itu harus diargumentasikan bertentangan dengan konstitusi.
Jika pemilu legislatif 2009, pemilu presiden 2009, dan seluruh hasilnya tetap mengikutsertakan parpol berdasar Pasal 316 huruf d yang bertentangan dengan UUD, maka seluruh pelaksanaan Pemilu 2009 dihalalkan melanggar konstitusi.
Untuk menyelamatkan konstitusionalitas Pemilu 2009, tidak ada jalan lain selain semua pihak mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Perpu dengan kegentingan yang memaksa untuk menyelamatkan Pemilu 2009 itu paling tidak mengatur perubahan UU No 10/2008 terkait proses verifikasi bagi sembilan parpol di DPR yang tidak lolos electoral threshold Pemilu 2004.
Presiden, DPR, MK, dan KPU sebaiknya duduk bersama untuk berkoordinasi terkait hadirnya perpu ini agar kita semua sebagai bangsa tidak secara berjemaah membiarkan Pemilu 2009 melanggar konstitusi.

Denny Indrayana Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

Tidak ada komentar: