Rabu, 13 Agustus 2008

Dimenangkan PTUN, Partai Buruh "Dapat Nomor 44"

JAKARTA, RABU-Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memenangkan gugatan empat partai politik (parpol) peserta Pemilu 2009 terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam putusannya, Rabu (13/8), di Jakarta, PTUN mewajibkan KPU menetapkan parpol peserta Pemilu 2004 menjadi parpol peserta Pemilu 2009.
"Bunyi putusan PTUN adalah mewajibkan KPU menetapkan parpol peserta Pemilu 2004 menjadi parpol peserta Pemilu 2009," ujar Ketua Umum Partai Buruh Muchtar Pakpahan kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (13/8).
Dengan putusan PTUN ini maka Partai Buruh, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), Partai Merdeka, dan Partai Syarikat Indonesia (PSI), boleh mengikuti Pemilu 2009. Sebelumnya mereka dinyatakan tidaka memenuhi syarat, inilah yang kemudian membuat mereka mengajukan gugatan ke PTUN.
Menurut Muchtar, Partai Buruh kini tinggal menunggu Surat Keputusan KPU untuk menetapkan keikutsertaannya dalam Pemilu 2009. Mengenai nomor urut, Muchtar mengaku sudah melakukan undian dengan tiga partai lainnya. "Kami dapat nomor 44, kami berempat sudah mengadakan undian sendiri," katanya.
Dalam aturan KPU, partai nasional peserta Pemilu 2009 nomor urutnya dari nomor 1 hingga 34. Sementara nomor 35 hingga 40 diberikan kepada partai lokal di Aceh
ROY Sent from my BlackBerry © Wireless device from XL GPRS/EDGE/3G Network

http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/13/16144167/dimenangkan.ptun.partai.buruh.dapat.nomor.44

Sabtu, 26 Juli 2008

Sistem dan Moral Pejabat Rusak Membuat Indonesia Terpuruk

Sistem dan Moral Pejabat Rusak Membuat Indonesia TerpurukJakarta, PelitaAda dua hal sangat substansial yang mengakibatkan Indonesia terpuruk dan rakyat sengsara, yaitu sistem pengelolaan negara yang tidak baik dan moral pejabat yang rusak. Karena itu kedua masalah harus diperbaiki mulai dari sekarang, setelah 100 tahun Kebangkitan Nasional.Demikian antara lain benang merah yang bisa ditarik dari diskusi panel Komitmen Pemerintah Terhadap Rakyat yang diselenggarakan Forum Komunikasi Massa yang bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Rabu (28/5). Hadir sebagai pembicara Wakil Ketua DPD La Ode Ida, Ketua DPP PD Sutan Batoegana, Ketua DPP PKS Rama Pratama, Ketua Plh PKN PDP Roy BB Janis, Wakil Ketua Umum DPP PDS Denny Tewu, Peneliti Lippi Dr Siti Zuhro dan Pakar Hukum Tatanegara Irman Putra Sidin.Peneliti Lippi Siti Zuhro menegaskan, Indonesia memang belum sampai pada status falling state, tetapi lambat laun pasti bisa terjadi, karena sistem pengelolaan negara yang salah dan moral pejabat yang rusak dan yang tidak amanah.Ke depan (Pemilu 2009) yang dibutuhkan Indonesia adalah pemimpin yang amanah (konsisten memegang dan melaksanakan janji), pemimpin yang strong leadership yang datang dan tampil untuk menyelesaikan masalah tanpa ragu-ragu. Dia mengatakan, melalui semangat 100 tahun Kebangkitan Nasional Indonesia harus berubah dalam semua aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan berkehidupan sosial yang sejahtera. Itu harus dimulai dari partai politik yang menjadi pilar demokrasi dan dapur kekuasaan. Negara ini pasti hancur jika partai politik tidak melakukan perubahan mendasar dalam rekrutmen, memilih dan menetapkan calon pemimpin yang amanah dan mermoral tinggi, tegas Siti Zuhro.Sedangkan Ketua Plh PKN PDP Roy BB Janis berpendapat, kedudukan rakyat yang terhormat hanya saat Pemilu. Sanjungan, perhatian dan janji-janji diberikan kepada rakyat, tetapi setelah hajat besar politik selesai, selesai pulalah kesemua itu.Dari realitas itu terlihat betul bahwa komitmen pemimpin bangsa ini lebih pada komunikasi politik tanpa subtansial. Inilah yang dimaksud dengan tidak amanah dan tidak bermoral. Para pemimpin lupa pada rakyat setelah semua tujuan tercapai, tegas dia.Dari kenyataan itu, kata Roy BB Janis, menjadikan kita bertanya. Apakah sistem pemerintahan ini yang salah atau moral pemimpin bangsa ini yang bobrok. Dulu kita punya garis-garis besar haluan negara (GBHN) yang mengikat pejabat dan pemimpin bangsa bertanggungjawab atas amanat yang diberikan rakyat.Sekarang, ungkapnya, GBHN dihapus, sistem kerja pemerintah acak-acakan dan tidak bertanggungjawab atas amanah yang diembankan ke atas pundak mereka.Sehubungan dengan itu dia menginginkan sistem yang baik pada masa lalu harus diteruskan. Kembalikan GBHN sebagai pedoman pembangunan dan segera lahirkan UU tentang kepresidenan, supaya siapapun yang menjadi presiden harus patuh pada UU tersebut.Buang kultur burukSenada dengan Roy BB Janis, Ketua DPP Partai Demokrat Sutan Batoegana menegaskan, sistem pemerintahan di bawah kepemimpinan almarhum Presiden Soeharto sudah bagus, banyak yang perlu diambil dan diteruskan. Tetapi sayang para pembantunya yang tidak benar.Sutan Batoegana mengajak bangsa ini membuang habis kultur yang tidak baik, yang selalu memandang pemerintahan dari sisi gelapnya saja. Semua pemimpin sudah bekerja dengan baik untuk rakyatnya, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Persoalannya adalah para menterinya yang tidak baik, selalu melakukan penyerangan. Saya sudah katakan itu kepada Presiden Yudhoyono. Pak, mestinya bapak bisa mengendalikan para menteri agar pemerintahan ini bisa jalan sesuai program, ujar Batoegana.Oleh karena itu, katanya, Pemilu 2009 harus menghasilkan single mayority agar pemerintahan menjadi kuat. Dengan demikian presiden bisa menerapkan sistem yang baik dan benar dan para pembantunya patuh dan taat penuh tanggungjawab. Pakar Hukum Tatanegara Irman Putra Sidin menegaskan, mestinya DPR langsung saja menggunakan hak menyatakan pendapat jika melihat ada indikasi pelanggaran yang dilakukan pemerintah.Hak interpelasi atau pun hak angket sudah tidak bisa lagi bisa diharapkan, karena para menteri setiap saat bisa dinego. Ini penting kalau negara ini betul-betul ingin menerapkan sistem yang baik dan membentuk aparat yang bermoral, tegas dia.Dengan penggunaan hak berpendapat, maka Mahkamah Konstitusi (MK) bisa menindaklanjuti apakah benar pemerintah sudah melanggar konstitusi. MK akan memberikan rekomendasi kepada MPR jika benar terlah terjadi pelanggaran UU oleh pemeritah.Ditempat terpisah anggota Forum Kajian Ilmiah Konstitusi (FKIK) Amin Aryoso SH menyatakan prihatin, bahwa setelah melalui empat kali amendemen, konstitusi yang dihasilkan dinilai amburadul dan merugikan bangsa Indonesia. Perubahan UUD 1945 bukannya semakin baik, tapi hanya menghasilkan Konstitusi Reformasi atau UUD 2002, yang proses dan substansinya dinilai amburadul dan merugikan Presiden dan rakyat Indonesia, kata dia.Karena itu, ia berpendapat sosialisasi Konstitusi Reformasi atau UUD 2002 sebaiknya dihentikan, karena amandemen yang dilakukan itu hanya atas kemauan para elite politik pimpinan MPR periode 1999-2004 saja, tidak mendapat mandat khusus dari rakyat. (kh)

http://www.hupelita.com/baca.php?id=50011

IMPLIKASI PUTUSAN MK TERHADAP PESERTA PEMILU 2009

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 12/PUU-VI/2008 tanggal 10 Juli 2008 telah menyatakan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian pasal itu dinyatakan “tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat”. Putusan ini mengabulkan permohonan uji materil tujuh partai politik peserta Pemilu 2004 yang berdasarkan ketentuan Pasal 316 huruf d itu tidak dibolehkan ikut Pemilu 2009, karena mereka tidak memiliki kursi di DPR. Ketujuh partai itu ialah PPD, PPIB, PNBK, Partai Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Sarikat Indonesia dan Partai Merdeka. Ini berbeda dengan sembilan partai lainnya, yakni PBR, PDS, PBB, PPDK, Partai Pelopor, PKPB, Partai PDI, PKPI dan PNI Marhaenis, meskipun tidak memenuhi syarat electroral treshold sebagaimana diatur oleh Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu, namun dibolehkan ikut Pemilu 2009 berdasarkan ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008, karena mereka mempunyai kursi di DPR. Ketujuh partai pemohon pengujian berpendapat bahwa ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 208 itu bersifat diskriminatif, tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan asas keadilan.
Apakah implikasi putusan MK tersebut terhadap sembilan partai yang telah dinyatakan secara resmi ikut Pemilu 2009. Apa pula implikasinya kepada tujuh partai yang dinyatakan oleh KPU tidak boleh ikut dalam Pemilu 2009? Apakah putusan MK itu dapat menunda pelaksanaan Pemilu 2009? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini datang dari berbagai pihak, termasuk pula dari Keluarga Besar Bulan Bintang di seluruh tanah air. Dalam Rapat Harian DPP PBB di Pasar Minggu tadi malam, saya menjelaskan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, putusan mahkamah tentang pengujian sebuah undang-undang, baru berlaku – dalam makna mempunyai kekuatan hukum tetap — sejak putusan itu selesai dibacakan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Putusan MK itu tidak mempunyai kekuatan berlaku surut atau retroaktif. Putusan MK itu baru berlaku sejak kemarin, tanggal 10 Juli 2008, sejak putusan itu selesai dibacakan. Sebelum tanggal itu, putusan itu belum ada, dengan demikian ketentuan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008 itu adalah pasal yang sah, berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam teori maupun praktik penerapan hukum, jika suatu ketentuan hukum dibatalkan, dicabut atau dinyatakan tidak berlaku di kemudian hari, maka akibat hukum dari suatu perbuatan, tindakan ataupun kebijakan yang didasarkan pada ketentuan itu sebelum dinyatakan tidak berlaku, tetaplah merupakan tindakan yang sah dan mengikat. Akibat hukum itu tidak terpengaruh oleh dinyatakan tidak berlakunya ketentuan itu di kemudian hari. Ini adalah asas kepastian hukum yang harus dijunjung tinggi. Saya memberikan contoh Perpu Nomor 2 Tahun 2002, yang memberlakukan surut Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Terorisme kepada pelaku peledakan bom di Bali, telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi dalam sidang pengujian terhadap undang-undang, karena Perpu itu dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun putusan itu tidaklah membatalkan putusan pengadilan terhadap pelaku peledakan bom di Bali, karena putusan telah mempunyai kekuatan mengikat, sebelum MK menyatakan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 itu bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Kepada peserta Rapat Harian DPP PBB tadi malam, saya memberi contoh di dalam hukum perdata, bahwa sebuah perkawinan yang sah dapat dibatalkan di kemudian hari, apabila ternyata ada salah satu larangan perkawinan yang dilanggar. Misalnya sebuah pasangan telah menikah selama sepuluh tahun, tetapi belakangan hari baru diketahui bahwa pasangan itu adalah bersaudara kandung. Hal ini mungkin terjadi karena suatu keadaan, misalnya bencana alam, peperangan dan sebagainya yang membuat anak-anak terpisah satu sama lain sehingga mereka tidak saling mengenal lagi. Perkawinan tersebut dapat dibatalkan demi hukum, namun segala perbuatan dan tindakan selama perkawinan belum dibatalkan, beserta akibat-akibat hukumnya adalah sah. Kalau dari perkawinan lahir anak-anak, maka anak-anak itu tetaplah anak yang lahir dari perkawinan yang sah. Kakau kedua pasangan itu selama perkawinan melakukan perikatan perdata dengan pihak ketiga, maka perikatan itu tetap berlaku, meskipun di kemudian hari perkawinan itu dibatalkan.
Berdasarkan asas hukum yang telah saya uraikan dan kedua contoh di atas, saya ingin menegaskan bahwa Putusan MK yang menyatakan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan dengan demikian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidaklah mempengaruhi keabsahan keputusan KPU yang menyatakan 34 partai politik ikut Pemilu 2009, termasuk sembilan partai yang tidak lulus treshold menurut UU Nomor 12 Tahun 2003, tetapi dibolehkan oleh Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008. Keputusan itu tidak dapat dibatalkan karena putusan MK tidak berlaku surut. Tahapan-tahapan Pemilu yang telah dilaksanakan oleh KPU yang juga didasarkan atas UU Nomor 10 Tahun 2008 itu tetap berjalan sebagaimana mestinya, termasuk undian nomor urut peserta Pemilu yang telah dilakukan tiga hari yang lalu. Sdr. Ferry Mursyidan Baldan dari Golkar, Hamdan Zulva dari PBB dan Andy Nurpatti dari KPU berpendapat sama, yakni putusan MK tidak berlaku surut. Namun, Andy mengatakan, KPU akan konsultasi dengan Presiden dan DPR dalam menyikapi putusan MK itu. Sebagian pengamat berpendapat putusan MK itu tidak ada artinya, karena tidak dapat dilaksanakan dalam praktik.
Apa yang tersisa dari putusan MK di atas ialah nasib tujuh partai politik yang memohon uji materil tersebut. Akankah mereka ikut dalam Pemilu 2009? Seperti telah saya uraikan di atas, sejak adanya putusan MK tanggal 10 Juli, maka ketentuan Pasal 316 huruf d sudah tidak berlaku lagi dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sementara ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 yang mengatur electoral treshold untuk Pemilu 2009 praktis tidak berlaku lagi, karena UU tersebut telah dicabut oleh UU Nomor 10 Tahun 2008. Dengan demikian, kini terjadi kevakuman hukum tentang aturan mengenai electoral treshold sebagai sayarat untuk ikut dalam Pemilu 2009. Kevakuman hukum itu dapat diatasi jika dalam waktu singkat Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), atau DPR dan Presiden segera membuat undang-undang untuk mengisi kevakuman itu. Namun kalau ini dilakukan, proses pelaksanaan Pemilu, bahkan hari pemungutan suara itu sendiri, dapat tertunda. Proses penerbitan Perpu, apalagi membuat undang-undang, akan memakan waktu. Padahal seluruh tahapan Pemilu harus berjalan sesuai jadual.
Dalam situasi vakum seperti itu, saya berpendapat, semuanya terserah kepada KPU. Lembaga ini dapat menetapkan suatu kebijakan diskretif sebagaimana dikenal dalam hukum administrasi negara. Dapat saja KPU memutuskan tujuh partai itu ikut Pemilu, dan ini berakibat dilakukan undian ulang nomor urut peserta Pemilu, atau diundi di antara tujuh partai itu saja mulai dari nomor urut 35. Namun persoalan lain muncul pula, karena sebagian dari tujuh partai itu pengurusnya telah mendirikan partai baru dan dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU untuk ikut Pemilu 2009. Partai baru yang telah memenuhi syarat itu agaknya tidak mungkin akan mundur dari keikutsertaannya dalam pemilu 2009. Partai yang agak unik, nampaknya adalah Partai Buruh Sosial Demokrat pimpinan Dr. Muchtar Pakpahan. Partai beliau ini, kini termasuk kategori partai yang terkena kevakuman hukum itu. Beliau telah mendirikan partai baru, namun partai baru itu dinyatakan KPU tidak memenuhi syarat ikut Pemilu 2009. Namun demikian, bisa saja KPU mengambil kebijakan di tengah kevakuman hukum, untuk mengikuti partai lama yang dipimpin Dr. Muchtar Pakpahan itu.
Demikianlah tanggapan saya atas Putusan Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan banyak tanda tanya di kalangan warga bangsa kita yang berkepentingan dengan Pemilu 2009. Kepada Keluarga Besar Bulan Bintang khususnya, saya serukan untuk tetap tenang. Teruskan semua kegiatan dan persiapan menghadapi Pemilu 2009. Seperti telah saya katakan kita tidak punya pilihan lain. Hanya Ada Satu Kata: Maju!
Fastabiqul khairat
Oleh Yusril Ihza Mahendra — July 11th, 2008

Jangan Biarkan Pemilu Melanggar UUD 1945

Jumat, 11 Juli 2008
KEBERADAAN 9 partai politik (parpol) di antara 34 parpol yang baru saja dinyatakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) lolos dan berhak ikut pemilihan umum (Pemilu) 2009, kini menghadapi ganjalan. Keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang membatalkan Pasal 316 huruf d UU 10/2008 tentang Pemilu DPR, DPR dan DPRD, di Jakarta, kemarin, membuat keberadaan 9 partai lama (peserta Pemilu 2004) yang langsung lolos meski tak memenuhi ketentuan electoral threshold itu diragukan keabsahan mereka sebagai peserta Pemilu 2009.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara yang diajukan oleh tujuh parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold dan juga tidak mempunyai kursi (wakil) di DPR, menyatakan bahwa Pasal 316 huruf d UU No.10 Tahun 2008 (UU 10/2008) itu bertentangan dengan UUD 1945, karena memberikan perlakuan yang tidak sama kepada parpol yang kedudukannya sama.
Sementara Pasal 316 huruf d UU 10/2008 berbunyi: Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan: d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004.
Pasal 315 berbunyi: Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.
Pasal 316 d UU 10/2008 itu meloloskan 9 partai sebagai peserta Pemilu 2009, karena meski tidak memenuhi electoral threshold mereka memiliki wakil di DPR. Namun sebaliknya mendepak 7 partai lainnya, karena tidak memenuhi satu dari dua pasal yang ada.
Ke-9 partai yang tidak memenuhi ketentuan electoral threshold tapi bebas verifikasi KPU untuk ikut Pemilu 2009 adalah PNI Marhaenisme, PPDI, PDS, PBR, PBB, PKPB, PDK, Partai Pelopor, dan PKPI. Sedang 7 partai yang harus mengikuti verifikasi untuk ikut Pemilu 2009 seperti halnya partai-partai baru adalah Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Sarikat Indonesia (PSI), dan Partai Merdeka.
Mengingat putusan MK adalah bersifat final, langsung memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak ada proses banding, kasasi, atau pun peninjauan kembali (PK), maka 7 parpol yang tidak memenuhi electoral threshold sangat beralasan bila menuntut agar diberlakukan sama dengan 9 partai yang lolos tanpa verifikasi.
Kita tak perlu sinis terhadap keputusan itu, apalagi menilai MK hanya ingin menyenangkan semua pihak. Sebagai pengawal konstitusi, jelas MK tak ingin main-main dengan keputusan mereka. Dan, bagi yang mendukung, tentu tak perlu terburu-buru pula mendesak agar KPU menganulir keabsahan 9 partai peserta Pemilu 2009 yang dipersoalkan. Yang perlu dicari adalah jalan tengah, tidak melanggar konstitusi, tetapi juga tidak berdampak terganjalnya tahapan persiapan pemilu itu sendiri.
Berdasarkan keputusan MK kita juga tidak perlu serta-merta minta KPU meralat kembali hasil penentuan nomor urut yang telah dilakukan. Tapi agar Pemilu 2009 tidak cacat hukum dan hasil-hasil pemilu itu tidak melanggar UUD 1945, maka semua pihak harus berupaya mencari solusi terbaik. Dan, kita juga tak perlu menyalahkan DPR apalagi menuding mereka tidak mempedulikan konstitusi dalam melahirkan undang-undang.
Ada beberapa langkah yang mungkin bisa ditempuh. Misal, DPR dengan segera merevisi UU 10/2008. Atau jika DPR sedang reses, pemerintah segera menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sebagai patokan bagi KPU dalam mengambil langkah. Atau bisa pula KPU meloloskan seluruh parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak lolos electoral treshold. Kebetulan hanya ada 4 partai lama itu yang tak lolos, yakni Partai Buruh Sosial Demokrat, Partai Sarikat Indonesia, Partai Merdeka, dan Partai Nasional Ulama Indonesia. Pemilu 2009 harus diselamatkan, tidak terancam batal demi hukum akibat melanggar UUD 1945.***


http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=204258

Pemilu 2009 Melanggar Konstitusi

Kamis, 17 Juli 2008 00:46 WIB
Oleh Denny Indrayana

Konstitusionalitas Pemilihan Umum 2009 di ujung tanduk. Hal itu terkait putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pasal 316 huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU No 10/2008) bertentangan dengan UUD 1945.
Pasal itu mengatur, ”Partai politik peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan: ... d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004”. Ketentuan inilah yang menjadi tiket gratis bagi sembilan partai peserta Pemilu 2004 berkursi di DPR meski tidak lolos electoral threshold untuk otomatis menjadi peserta Pemilu 2009.
Pertanyaannya, apakah setelah putusan MK itu, sembilan parpol masih konstitusional menjadi peserta Pemilu 2009?

Pasal manipulatif dan diskriminatif
Pasal 316 huruf d memang norma hukum yang manipulatif karena proses perumusannya nyata-nyata dipenuhi perselingkuhan kepentingan di antara partai besar dan partai kecil di DPR. Ambang batas pemilu yang sebelumnya disyaratkan untuk peserta Pemilu 2009, dengan mudah dinafikan. Penafian itu menyebabkan agenda penyederhanaan parpol tak terjadi. Konsekuensinya, sistem presidensial kita tetap rapuh karena berpijak pada sistem multipartai yang semakin tak sederhana.
Lebih jauh, MK juga menegaskan pasal demikian diskriminatif karena, ” ... Pasal 316 huruf d UU No 10/2008 justru menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold”. Karena sifat merusaknya yang manipulatif dan diskriminatif itu, maka amat tepat putusan MK yang menyatakan Pasal 316 huruf d bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dilema prospektivitas putusan
Masalahnya, apakah dengan putusan MK, maka kepesertaan sembilan parpol berdasar Pasal 316 huruf d menjadi otomatis bertentangan dengan UUD 1945?
MK memutuskan, Pasal 316 huruf d bertentangan UUD 1945 karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Logika sederhananya, keikutsertaan parpol dalam Pemilu 2009, yang hanya bersandar norma 316 huruf d, wajib dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Masalahnya, UU MK membatasi putusan berlaku prospektif. Pasal 47 UU MK mengatur putusan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Lebih jauh, Pasal 58 UU MK menegaskan, UU yang diuji MK tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan, UU itu bertentangan dengan UUD. Berdasar dua pasal itu, maka penetapan sembilan parpol oleh KPU sebagai peserta pemilu 2009, yang dilakukan sebelum dibacakan putusan MK, secara prosedural memang masih sesuai dengan UUD 1945.
Namun, berpendapat tentang konstitusionalitas, keikutsertaan sembilan parpol hanya berdasar dua pasal UU MK itu, jelas mengganggu akal sehat meski mungkin tak akan mengganggu logika kepentingan politik yang absurd. Bagaimana mungkin, sembilan parpol sah mengikuti Pemilu 2009 jika satu-satunya dasar konstitusionalitas menjadi peserta Pemilu 2009, yang ditetapkan KPU 7 Juli 2008, telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh putusan MK sejak 8 Juli 2008.
Dalam menetapkan parpol peserta Pemilu 2009, sehari sebelum putusan MK, KPU mendasarkan pada ketentuan Pasal 315 dan 316 huruf d UU No 10/2008. Alangkah absurdnya logika prosedural yang keras kepala tidak merevisi keputusan KPU, padahal sehari setelahnya Pasal 316 huruf d diputuskan bertentangan dengan UUD 1945. Logika normal menyatakan, keputusan KPU tentang parpol peserta pemilu harus disesuaikan putusan MK agar Pemilu 2009 tak pula bertentangan dengan UUD karena diikuti parpol yang dasar hukum keikutsertaannya telah nyata-nyata diputuskan bertentangan dengan UUD.
Apalagi, harap dicatat, Pasal 316 huruf d adalah ketentuan peralihan, yang hanya berlaku satu kali semata pada Pemilu 2009. Maka, adalah logika koruptif-manipulatif, yang mengatakan, putusan MK dapat dilaksanakan setelah pemilu 2009. Seharusnya, putusan MK mempunyai dampak yuridis konstitusional pada pelaksanaan Pemilu 2009. Putusan MK yang membatalkan Pasal 316 huruf d yang hanya diterapkan untuk Pemilu 2009, tetapi tidak dilaksanakan untuk menilai konstitusionalitas peserta Pemilu 2009, adalah justru bertentangan dengan konstitusionalitas putusan MK itu sendiri.

Perpu sebagai solusi
Semua pihak seharusnya sadar dan berpikir jernih bahwa konstitusionalitas Pemilu 2009—baik pemilihan anggota parlemen maupun pemilihan presiden—sedang dipertaruhkan. Setelah putusan MK menyatakan Pasal 316 huruf d bertentangan dengan UUD 1945, maka sembilan parpol yang menjadi peserta pemilu semata-mata berdasarkan pasal itu harus diargumentasikan bertentangan dengan konstitusi.
Jika pemilu legislatif 2009, pemilu presiden 2009, dan seluruh hasilnya tetap mengikutsertakan parpol berdasar Pasal 316 huruf d yang bertentangan dengan UUD, maka seluruh pelaksanaan Pemilu 2009 dihalalkan melanggar konstitusi.
Untuk menyelamatkan konstitusionalitas Pemilu 2009, tidak ada jalan lain selain semua pihak mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Perpu dengan kegentingan yang memaksa untuk menyelamatkan Pemilu 2009 itu paling tidak mengatur perubahan UU No 10/2008 terkait proses verifikasi bagi sembilan parpol di DPR yang tidak lolos electoral threshold Pemilu 2004.
Presiden, DPR, MK, dan KPU sebaiknya duduk bersama untuk berkoordinasi terkait hadirnya perpu ini agar kita semua sebagai bangsa tidak secara berjemaah membiarkan Pemilu 2009 melanggar konstitusi.

Denny Indrayana Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

Senin, 14 Juli 2008

Perpu sebagai tindak lanjut dari Keputusan Makamah Konstitusi

Makamah Kontitusi telah membuat keputusan yang menyatakan bahwa pasa 316 Huruf d UU no tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 10/2008) bertentangan dengan UUD 1945. Hal yang disorot dalam keputusan tersebut adalah adanya ketidak adilan dalam memperlakukan peraturan terhadap Partai Politik peserta PEMILU 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Electroral Threshold 2,5 %, dimana Parpol yang memiliki Kursi di DPR dianggap langsung lolos menjadi peserta PEMILU 2009 tanpa melalui proses Verifikasi. Sedangkan Partai politik yang tidak memiliki Kursi di DPR harus mengikuti verifikasi.

Banyak pihak yang menyikapi hasil keputusan Makamah Konstitusi ini, ada yang pro dan tentu saja yang kontra. Pihak Komisi Pemilihan Umum, beragumentasi bahwa pihaknya hanyalah sebagai eksekutor dari peraturan yang berlaku, dan telah melaksanakan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Proses pemilu sudah dijalankan, sedangkan keputusan dari Makamah konstitusi baru keluar setelah proses penetapan peserta pemilu 2009 ditetapkan, sehingga tidak dapat dihentikan mengingat telah ditetapkannya waktu pelaksanaan PEMILU tersebut.

Apabila keputusan Makamah Konstitusi ini tidak diakomodasi, bisa berakibat,PEMILU 2009 tidak sesuai dengan ketetapan hukum, karena pelaksanaan PEMILU nya sendiri baru dilaksanakan setelah keputusan Makamah konstitusi tersebut diputuskan.

Didalam keputusan tersebut, Makamah Konstitusi berkesimpulan bahwa Undang-undang Pemilu tersebut tidak konsisten dan tidak menganut asas keadilan. Sebagai jalan keluarnya Pemerintah sebagai lembaga yang mengayomi kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini harus segera bertindak untuk mengeluarkan peraturan pelaksanan yang menjabarkan keputusan MK tersebut menjadi suatu petunjuk pelaksana yang dapat dijalankan oleh KPU dalam bentuk Kepres atau Perpu.

Dalam peraturan pelaksanaan tersebut pemerintah dapat memperjelas apa yang sudah ditetapkan didalam Keputusan MK. Makamah konstitusi memberikan 2 pilihan alternatif agar Undang-undang Pemilu sesuai dengan UUD 1945 :
Seluruh Partai Politik yang tidak memenuhi Electroral threshold harus mengikuti proses verifikasi, termasuk Partai Politik yang memiliki wakil di DPR. Dampaknya KPU harus menganulir keputusan yang menyatakan bahwa Partai Politik yang tidak memenuhi Electroral Threshold tetapi memiliki wakil di DPR sebagai peserta PEMILU. Dan pada partai tersebut dilakukan proses verifikasi ulang. Apabila hasil verifikasi menyatakan Partai tersebut memenuhi syarat, barulah dapat kembali menjadi peserta PEMILU. Dan tentu saja selama proses tersebut belum selesai, Partai Politik tersebut tidak diperkenankan untuk mengikuti proses tahapan PEMILU.
Alternatif kedua adalah, Pemerintah bisa mengeluarkan perpu yang menyatakan bahwa UU Pemilu pasal 316 Huruf d UU no 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum tidak berlaku, dan sebagai dampaknya Partai politik yang tidak lolos Electroral Threshold dan tidak memiliki wakil di DPR dapat dinyatakan sebagai Peserta Pemilu 2009.

Keputusan ini harus segera ditetapkan oleh Pemerintah, mengingat dampaknya kepada hasil PEMILU 2009, yang merupakan sebagai dasar proses untuk memilih perwakilan rakyat yang akan duduk di DPR, dan DPRD. Kalau Pemilu tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang ditetapkan, tentu saja hasilnya bisa dianggap tidak sah atau minimal tidak memberikan representatif dari seluruh bangsa Indonesia. Dan tentu saja hal yang dimulai dengan tidak sesuai dengan rasa keadilan dan konsistensi yang tercemin dalam UUD 1945 akan berakhir dengan hal yang akan menciptakan ketidak konsistesian dan keadilan dalam pelaksanaannya.

Hal ini bisa menjadi suatu preseden bagi proses legislasi bagi pembuatan undang-undang masa depan. Kalau pemerintah segera menetapkan Perpu, KPU segera melaksanakannya. Bisa memberikan gambaran kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia Internasional bahwa tidak ada kesempatan bagi ketidak adilan untuk tumbuh dibumi Indonesia ini.

Selain itu hal ini juga bisa memberikan gambaran bahwa Makamah Konstitusi telah dapat bersikap Objektif tanpa melihat kepentingan dari pihak-pihak, dan sebagai teguran bagi pembuat undang-undang dimasa yang akan datang untuk dapat membuat atau menetapkan undang-undang yang sesuai dengan asas-asas yang ada di dalam UUD 1945. Walaupun Partai Politik merupakan institusi untuk memperjuangkan kepentingan, tentu saja para anggota Parpol yang duduk di badan legislasi harus tetap mengacu kepada asas-asas yang terdapat didalam Pancasila dan UUD 1945.

Mari kita tunggu, Wait and See ……
Apakah Pemerintah cukup tanggap dalam mengambil keputusan cepat yang akan berdampak bagi bangsa ini di masa yang akan datang.

Semoga diberi petunjuk dari yang MAHA TAHU, yang mengetahui isi hati kita semua, tanyakan pada diri sendiri mana yang benar,dan mana yang salah.

PASAL 316 HURUF D UU 10/2008 BERTENTANGAN DENGAN KONSTITUSI

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Pasal 316 huruf d UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 10/2008) bertentangan UUD 1945. Hal ini dikarenakan aturan tersebut memberikan perlakuan yang tidak sama kepada mereka yang kedudukannya sama, yaitu partai politik (Parpol) yang memiliki wakil di DPR dan yang tidak memiliki wakil di DPR (yang tidak memenuhi electoral threshold). Hal tersebut dinyatakan MK dalam sidang pengucapan putusan perkara 12/PUU-VI/2008 di Ruang Sidang MK, Kamis (10/07).
Perkara tersebut diajukan oleh tujuh Parpol yang tidak memenuhi electoral threshold dan tidak mempunyai kurasi di DPR, yaitu Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Patriot Pancasila, Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD), Partai Sarikat Indonesia (PSI), dan Partai Merdeka.
“Parpol-parpol Peserta Pemilu 2004, baik yang memenuhi ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008 maupun yang tidak memenuhi, sejatinya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sebagai Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold, sebagaimana dimaksud baik oleh Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 maupun oleh Pasal 315 UU 10/2008,” ucap Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, membacakan Konklusi Putusan.
Pasal 316 huruf d UU 10/2008 berbunyi, “Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan: ….d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau….”. Sedangkan Pasal 315 berbunyi,“Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004”.
Lebih lanjut Jimly menyampaikan bahwa Pasal 316 huruf d UU 10/2008 merupakan ketentuan yang memberikan perlakuan yang tidak sama dan menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) terhadap sesama Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak mememenuhi ketentuan Pasal 315 UU 10/2008.
Dalam permohonannya, para Pemohon memang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 316 huruf d UU 10/2008 yaitu, “memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004”. Pada dasarnya, Parpol-parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 UU 10/2008 seharusnya sudah tidak berhak lagi menjadi peserta Pemilu 2009 karena tidak memenuhi ketentuan electoral threshold, kecuali memenuhi Pasal 9 ayat (2) UU 12/2003.
Menurut MK, ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008 tersebut tidak jelas ratio legis-nya apabila dikaitkan dengan masa peralihan dari prinsip electoral threshold ke parliamentary threshold. Artinya, apakah Pasal 316 huruf d UU 10/2008 bermaksud memberikan kemudahan untuk menjadi peserta Pemilu 2009 kepada seluruh Parpol Peserta Pemilu 2004 yang sesungguhnya tidak memenuhi electoral threshold yang ditentukan, ataukah karena pertimbangan bahwa UU 10/2008 menganut parliamentary threshold, maka kemudahan bersifat terbatas hanya diberlakukan kepada Parpol-parpol yang sudah memiliki kursi di parlemen (DPR).
Apabila bermaksud memberikan kemudahan, maka seharusnya semua Parpol Peserta Pemilu 2004 dengan sendirinya langsung dapat menjadi peserta Pemilu 2009, tanpa harus melalui proses verifikasi oleh KPU, baik verifikasi administratif maupun verifikasi faktual. Apabila bermaksud memberikan kemudahan terbatas, maka seharusnya, kemudahan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 yakni memenuhi ambang batas perolehan suara sah 2,5% dari suara sah secara nasional, tentu saja berdasarkan hasil Pemilu 2004, namun bukan berdasarkan perolehan kursi sebagaimana ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008.
Lagi pula, menurut MK, nilai kursi dalam sistem Pemilu 2004 tidak selalu mencerminkan besarnya perolehan suara, yakni ada Parpol yang jumlah perolehan suaranya secara nasional lebih banyak daripada perolehan suara Parpol yang memperoleh kursi di DPR. “Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 316 huruf d UU 10/2008 justru menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold, “ kata Hakim Konstitusi Mukthie Fadjar membacakan pendapat MK.Perlakuan yang tidak adil tersebut ditunjukkan dengan kenyataan bahwa ada Parpol yang hanya memperoleh satu kursi di DPR, kendati perolehan suaranya lebih sedikit dari pada Parpol yang tidak memiliki kursi di DPR, melenggang dengan sendirinya menjadi peserta Pemilu 2009, sedangkan Parpol yang perolehan suaranya lebih banyak, tetapi tidak memperoleh kursi di DPR, justru harus melalui proses panjang untuk dapat mengikuti Pemilu 2009, yaitu melalui tahap verifikasi administrasi dan verifikasi faktual oleh KPU. (Luthfi Widagdo Eddyono)

Jumat, 11 Juli 2008

Wiranto Berharap Tak Rugikan Parpol yang Lolos Verifikasi

Shohib Masykur - detikNews

Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan partai-partai gurem soal ketentuan electoral treshold. Menanggapi putusan MK ini, Ketua Partai Hanura Wiranto berharap agar putusan ini tak merugikan parpol yang telah lolos verifikasi KPU.

"Itu sudah keputusan MK sebagai lembaga hukum tertinggi. Jadi harus dipatuhi. Harapan saya, mudah-mudahan implementasi keputusan ini tidak merugikan apa yang telah sedemikian luas dilakukan oleh partai-partai politik," ujar Wiranto.

Hal ini dia sampaikan sebelum membuka training of trainer (ToT) angkatan III Partai Hanura di Hotel Millennium, Jl Fachruddin, Jakarta, Jumat (11/7/2008).

Wiranto juga berharap, putusan MK ini tidak merubah tahapan-tahapan pemilu yang sudah berjalan.

"Proses pemilu sudah berjalan cepat. Tapi ada perubahan tiba-tiba. Ini tidak mudah untuk dihadapi. Mudah-mudahan keputusan itu tidak merugikan proses pemilu yang sudah berjalan," ujarnya.

Mantan calon presiden pada Pemilu 2004 ini juga tidak mempermasalahkan jika Pemilu 2009 ini diundur akibat putusan MK ini. "Biarkan saja. Kalau mundurnya cuma dua hari. Tapi kalau mundurnya setahun rugi dong," candanya.(anw/fiq

Keputusan MK Tidak Hambat 9 Parpol Ikut Pemilu

Didit Tri Kertapati - detikNews

Jakarta - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan electoral threshold tidak mempengaruhi 9 parpol. Mereka tetap bisa ikut Pemilu 2009.

"Keputusan MK tak mempengaruhi 9 parpol yang telah ditetapkan KPU," ujar Ketua KPU Abdul Hafiz Ansyari saat jumpa pers di MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat (11/7/2008).

Dalam kesempatan yang sama, Ketua MK Jimly Asshidiqie mengatakan menyerahkan tindak lanjutnya kepada KPU. Menurutnya tidak ada pihak yang dirugikan.

"7 parpol (yang ajukan hak uji materil) tidak dirugikan tapi tidak ikut untung dengan parpol yang punya kursi di DPR," kata Jimly.

Menurut Jimly, dalam pasal 58 UU No 24/2003 tentang MK, UU yang diuji oleh MK tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga putusan MK soal pembatalan electoral threshold tidak tidak perlu menimbulkan salah faham.

"Bagi kami putusan ini sangat penting karena ini pelajaran kita di masa depan. Tidak lagi ada pasal-pasal yang tidak adil. Mengenai bagaimana pelaksanaannya kita serahkan ke KPU" kata Jimly.(ziz/fay)

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan partai politik

Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan partai politik (parpol) gurem untuk membatalkan electoral treshold. Konsekuensinya, jika Presiden SBY tak mengeluarkan perppu, Pemilu 2009 terancam bertentangan dengan UUD.

"Dasar hukum 9 parpol untuk ikut pemilu sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD. Sehingga kalau tidak ada upaya hukum untuk memperbaiki ini berarti pemilu 2009 melanggar UUD dan pemilihan presiden bisa juga bertentangan dengan UUD karena dia lahir dari parpol tersebut," ujar pakar hukum tata negara Denny Indrayana.

Hal tersebut dia sampaikan di sela-sela peluncuran buku karangan mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh berjudul 'Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz' di Hotel Santika, Jl Aiptu KS Tubun, Jakarta, Jumat(11/7/2008).

Oleh karena itu, menurut Denny, tidak ada langkah konstitusional yang paling tepat untuk mengatasi ini selain Perppu dikeluarkan SBY.

"Karena ini terkait dengan konstitusionalitas pemilu presiden dan legislatif 2009, tidak ada jalan lain selain presiden mengeluarkan perppu. Ini merupakan kepentingan yang mendesak," kata Denny.

Denny menegaskan, putusan MK tidak salah. Yang salah justru anggota DPR yang dianggap telah membuat konspirasi untuk mengamankan kepentingan mereka.

"Ini jelas kesalahan DPR. Ada konspirasi DPR pada awalnya. Awalnya pasal itu (pasal 316 UU Pemilu) lahir dari jual beli kepentingan parpol di DPR. Lalu keluar sekarang keputusan ini. Tidak bisa dibenarkan," ujar dosen Fakultas Hukum UGM ini.

Putusan MK ini, lanjut pria berkacamata ini, merupakan buah simalakama bagi KPU. Jika dibiarkan, akan ada masalah dengan konstitusionalitas pemilu. Tapi jika Perppu dikeluarkan, maka akan ada perubahan kembali jadwal pemilu," ujarnya.

Yang jelas, Denny menyayangkan kenapa KPU dan MK tidak koordinasi terlebih dahulu agar putusan MK ini tidak menciptakan masalah baru di tengah pelaksanaan pemilu yang kian dekat.
(anw/ken)

http://www.detiknews.com/read/2008/07/11/175546/970786/10/pengamat-jika-tak-dikeluarkan-perppu-pemilu-09-langgar-uud

Selasa, 01 Juli 2008

Susunan Pengurus DPD PSI Se Indonesia

Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Sumatera Utara
Jl. T. Amir Hamzah No.17 F Medan
Susunan Pengurus
a. Ketua Ir. Ishar Lubis
b. Sekretaris Ir. Salimin Tagor Nasution
c. Bendahara Raudatul Ulfah


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Sumatera Barat
Jl. S. Parman No. 96 Padang Sumatera Barat
Susunan Pengurus
a. Ketua Mhd. Husni Nahar
b. Sekretaris Hanafiah Bagindo Sulaiman
c. Bendahara Ena Zairina


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi RIAU
Jl. Hangtuah No. 84 Pekanbaru
Susunan Pengurus
a. Ketua Nazaruddin
b. Sekretaris Desi Rominarti
c. Bendahara Syahril Syukur


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi JAMBI
Jl. Parluhutan Lubis No. 56 kec. Telanaipura Kota Jambi
Susunan Pengurus
a. Ketua Asnawie MY
b. Sekretaris Edianto
c. Bendahara Aida


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Sumatera Selatan
Jl. R.H.A Rifaei Tjek Yan No. 1190 B/32 Palembang
Susunan Pengurus
a. Ketua Rahimin
b. Sekretaris Masteri
c. Bendahara Abdullah Wahab


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Bengkulu
Jl. Cendrawasih Kota Bengkulu
Susunan Pengurus
a. Ketua Nuzuar Aladin
b. Sekretaris Muchtar Luthfi
c. Bendahara Ahmad Yunizar


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi LAMPUNG
Jl. Dempo 39 Kedaton Bandar Lampung
Susunan Pengurus
a. Ketua Hendri Juniadi
b. Sekretaris Rosiyati
c. Bendahara Dina


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Bangka Belitung
Jl. RE Martadinata RT.03/01 Kel. Ampui Kec. Pangkal Balam Kota Pangkalpinang
Susunan Pengurus
a. Ketua Ir. Rusian Heldy Idrus
b. Sekretaris Akbar Fudhaili
c. Bendahara Muh. Yaqzon


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi KEPRI
Komp. Perkantoran Aku Tahu Blok D/01, Sei Panas Batam
Susunan Pengurus
a. Ketua H.Ferry Nasution
b. Sekretaris DRS. H.M.Purawi
c. Bendahara Hj. Gusti Ayu Nyoman Loji


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi DIY
Bausasran Dn III/932 Yogyakarta 55211
Susunan Pengurus
a. Ketua H.Ismail Djaelani
b. Sekretaris Gatot Priyo Aji
c. Bendahara Indah Ning Sudiarti


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi JATIM
Jl. Mulyorejo Selatan Baru No. 52 � 54 Surabaya
Susunan Pengurus
a. Ketua Chamdani Ansor
b. Sekretaris Alich Mawlidah
c. Bendahara Rukmini Pangesthiningsih


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Banten
Jl. Jend. Sudirman No. 12 Kemang � Serang
Susunan Pengurus
a. Ketua H. TB. Priyadi Yusron
b. Sekretaris Bambang Hartono
c. Bendahara Tri Wahyuni Khairunisa


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi NTB
Jl. Anggrek II No.12 Gebang Baru Lingk. Gebang Timur Kel. Pagesaangan Timur
Susunan Pengurus
a. Ketua Rusli Haryadi
b. Sekretaris Erwin Haryandi
c. Bendahara Khaeryah Amd


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi NTT
Jl. Untung Surapati No. 7-9 Kupang NTT
Susunan Pengurus
a. Ketua Yohana Marteliana Nisnoni
b. Sekretaris Frans Solanus Teti
c. Bendahara Arianto S.


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Kalimantan Barat
Jl. Imam Bonjol Gg. Bansir Kec. Pontianak Kalbar
Susunan Pengurus
a. Ketua Norman Yancanova
b. Sekretaris Herry Haryanto SE
c. Bendahara Maryam SH


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Kalimantan Tengah
Jl. Christopel Mihing No. 18 Palangkaraya
Susunan Pengurus
a. Ketua Imanuel
b. Sekretaris Wiwi Yulianti
c. Bendahara Vini Rina Yanti


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Kalimantan Timur
Jl. Basuki Rahmat No. 40 Samarinda Kalimantan Timur
Susunan Pengurus
a. Ketua Bhoby Antariksawan
b. Sekretaris Ady Wijaya
c. Bendahara Harry Sugiarto


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Sulawesi Utara
Perum Pineleng Permai Blok /5 B Kec. Pineleng
Susunan Pengurus
a. Ketua Abbror Paparang
b. Sekretaris Benny Palilingan
c. Bendahara Sartika Barahama


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Sulawesi Tengah
Susunan Pengurus
a. Ketua Rachmah Pettalolo
b. Sekretaris Hasby Ahmad
c. Bendahara A. Kaman Pettalolo


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Sulawesi Selatan
Jl. Pengayoman Komp. Akik Hijau Blok E
Susunan Pengurus
a. Ketua Andi Makkarau M
b. Sekretaris Fajar Misba Pratama H
c. Bendahara Ir Novita


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Sulawesi Tenggara
Jl. Anawal No. 1, Kel. Anawal Kendari Sulawesi Tenggara
Susunan Pengurus
a. Ketua H. Muchtar Hamzah
b. Sekretaris Sarjono
c. Bendahara St. Radhian Hamzah Mappa, SE


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Maluku
Jl. Silale No. 46 Ambon
Susunan Pengurus
a. Ketua Jufri Sadik
b. Sekretaris Julius Far far
c. Bendahara Tineke Simon


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Maluku Utara
Jl. Sultan KhairunNo. 54 RT/RW.001/01 Makasar Barat Ternate Tengah 97724
Susunan Pengurus
a. Ketua M. Nur Hi Saleh,SH
b. Sekretaris Maryam Ahmad, BA
c. Bendahara Atika Madjid


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Papua
Jl. SPG Kompl. Ruko Waena Jayapura
Susunan Pengurus
a. Ketua Jean Paul Kabey
b. Sekretaris Relika Tambunan SH
c. Bendahara Nico Fonataba


Dewan Pimpinan Daerah
Partai Persatuan Sarikat Indonesia
Propinsi Papua Barat
Jl. Sujarwo Condronegoro, SH Reremi
Susunan Pengurus
a. Ketua Boby William Kanday
b. Sekretaris Ferdinand Ayatanoi
c. Bendahara Heidy Diana


Senin, 16 Juni 2008

Partai Sarikat Indonesia Kembali "Bertarung" di Pemilu 2009

Jakarta (ANTARA News) - Partai Sarikat Indonesia (PSI) yang tidak lolos electoral treshold pada Pemilu 2004 lalu bertekad untuk kembali mengikuti Pemilu 2009 dengan membentuk partai baru.

"Kami tidak ingin bergabung dengan partai lain jadi sesuai Undang Undang maka kami memutuskan untuk membentuk partai baru," kata Ketua Umum PSI Rahardjo Tjakraningrat dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa.

Keputusan diambil oleh partai yang beraliran nasionalis religius itu setelah melaksanakan kongres selama dua hari yang dihadiri oleh 421 DPC dan 32 DPD PSI dari seluruh Indonesia.

"Hasil kongres menyatakan bahwa dalam sebulan partai baru sudah harus terbentuk, termasuk pengurus DPP dan AD/ART," papar Rahardjo.

Pendaftaran partai baru tersebut ke Departemen Hukum dan HAM akan segera dilakukan setelah pembentukan dari partai yang belum diberi nama, meskipun anggota Kongres telah menyetujui dua nama yakni "Partai Persatuan Sarikat Indonesia" dan "Partai Sejahtera Indonesia".

Kemiripan dua nama yang disetujui anggota Kongres itu dengan nama partai lama diakui oleh Rahardjo semata-mata untuk memudahkan sosialisasi.

"Para pengurus partai di daerah menganggap menyosialisasikan partai baru itu sulit, harus ada unsur yang sudah dikenal. Makanya lambang partai baru nantinya diharapkan tidak jauh berbeda, warnanya juga harus sama," ujar Rahardjo.

Partai baru tersebut tidak lagi akan mengusung isu korupsi dan kemiskinan karena disebut Rahardjo isu itu sudah "terlalu biasa" sehingga tim penelitian dan pengembangan (litbang) akan mencari isu lain, namun tetap tidak menyimpang dari jiwa nasionalis religius partai yang dianut partai tersebut.

Rahardjo mengaku bahwa partainya meskipun tidak "dikenal" di Jakarta maupun di Jawa pada umumnya, namun ia mempunyai pengaruh di daerah, terutama di Indonesia Timur seperti Papua, NTB dan Maluku.

"Jakarta memang `loyo` (perolehan suaranya). Kami memang fokus ke daerah," katanya. "Memang di DPR Pusat tidak ada perwakilan kami, tapi di daerah, DPRD Tingkat I dan Tingkat II kami punya anggota," tambah Rahardjo.

Ia menyalahkan "kegagalan" tersebut kepada sempitnya waktu persiapan untuk mengikuti Pemilu 2004 lalu dan menyatakan bahwa untuk Pemilu yang akan datang pihaknya akan melakukan persiapan yang lebih matang, meskipun masih pesimis dalam menentukan target.

"Target kami gak muluk-muluk, yang penting bisa lolos `electoral treshold` yang katanya akan jadi lima persen," kata Rahardjo. (*)

http://www.antara.co.id/arc/2007/8/14/partai-sarikat-indonesia-kembali-bertarung-di-pemilu-2009/

Rabu, 11 Juni 2008

Partai Persatuan Sarikat Indonesia

Susunan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat
Partai Persatuan Sarikat Indonesia (Partai PSI)
Ketua Umum : H. Rahardjo Tjakraningrat
Ketua : Deddy Darmawan
Ketua : H. Rusli Dahlan SH
Ketua : Endriyana.SH
Ketua : Darma Pane. Msi
Ketua : Ir. Rudi Hasibuan
Ketua : Aida Sofia
Sekretaris Jenderal : Didi Oerip Affandi
Wakil SekJen : Ir. Nazir Muchamad
Wakil Sekjen : Adriansyah.SE
Wakil Sekjen : Baharudin Ginting
Bendahara : Ispi. SE
Wakil Bendahara : Desy Rudi Hasibuan.SE

Visi

Partai PSI dengan jiwa religius, kebangsaan dan kerakyatan sebagai mitra andalan bagi rakyat dalam menegakkan demokrasi Indonesia yang berbudaya dan beradab

Misi
Mengemban komitmen untuk menegakkan kedaulatan rakyat dan marwah bangsa yang dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten dengan kehendak :
1. Melahirkan kader dan pemimpin bertagwa, jujur dan tegas serta berkemampuan dalam menjalankan tugas secara penuh amanah dan tidak cidera janji
2. Mewujudkan pemerintahan yang berwibawa melalui penyelenggaraan negara yang demokratis, bersih, sehat dan akuntabel berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
3. Menegakkan Hak dan kewajiban Asasi Manusia dan supremasi hukum yang berkeadilan dan ditegakkan demi kehormatan dan martabat bangsa.
4. Membangun sumber daya manusia yang sehat dan cerdas serta memiliki hatinurani yang bersandarkan pada nilai-nilai akhlaq dan moral yang baik, dengan menempatkan kaum perempuan dan laki-laki dalam dimensi kesetaraan dan keadilan.


Ciri dan Sifat Partai
1. Bercirikan nilai-nilai religiusitas, kebangsan dan kerakyatan
2. Bersifat terbuka, Bagi seluruh warga negara Indonesia dengan menempatkan dimensi kesetaraan dan keadilan gender.

Orientasi
Partai PSI berorientasi menegakkan kedaulatan dan keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia dengan berperdomankan pada nilai-nilai dasar keagaman, kemanusiaan dan keberadaban demi mencapai tatanan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat bangsa Indonesia

Tujuan Umum
1. Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan undang-undang Dasar 1945.
2. Memelihara kedaulatan dan keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia.
3. Menumbuhkan kehidupan demokrasi yang beradab berdasarkan Pancasila denan menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa.
4. Mewujudkan kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia.

Selasa, 20 Mei 2008

Sekapur sirih

Sekapur sirih


Syukur Alhamdulillah kita sembahkan kehadirat ALLAH yang MAHA KUASA, atas karunia nikmatnya sehingga anak negeri yang terhimpun dalam kesamaan faham, itikad dan cita-cita telah bertekad bulat mendirikan sebuah Partai yaitu dengan ditandatangani lebih dari 350 orang dari seluruh Indonesia yan hadir dalam kongres Partai Sarikat Indonesia di Hotel Borobudur jakarta 12-14 Agustus 2007.

Pertemuan para fungsionaris Partai Sarikat Indonesia (PSI) sebagai partai peserta pemilu 2004 itu menjadi istimewa karena keseluruhan peserta membawa misi yang sama yaitu bagaimana PSI kembali dapat mengikuti Pemilihan Umum pada 2009. Maka agenda tunggal kongres kali itu pun menyepakati untuk dapat berdirinya sebuah partai baru yang kemudian diberi nama partai PSI. Maka sesuai dengan yang diamanahkan oleh kongres yang melimpahkan tugas penyusunan dan persiapan serta pelengkapan segala sesuatuny tentang kehadiran partai baru dimaksud, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah tangga Partai PSI menjadi prioritas pertama untuk dirampungkan, sebagai pedoman dasar bagi kalangan internal Partai sekaligus menjadi dokumen resmi untuk diketahui oleh kalangan eksternal dan khalayak umum untuk mengetahui dan memahami keberadaan Partai PSI.

Pada pembukaan Anggaran Dasar Partai ini di itikadkan dalam konteks memberikan penekanan substansi yang lebih penting dan tajam terhadap kesadaran sejarah kebangsaan sebagai upaya menemukenali kembali nilai-nilai keIndonesiaan yang terukirkan dalam kesejarahannya. Reinvensi keIndonesiaan yang berdimensikan nilai-nilai religiusitas, kebangsaan (nasionalisme) dan kerakyatan (demokrasi) itulah yang agaknya menjadi perhatian Partai PSI dalam keberadaannya sebagai partai politik yang menjadi saluran aspirasi masyarakat bangsa ini.

Jakarta, 17 Agustus 2007


H. Rahardjo Tjakraningrat
Ketua Umum

Senin, 05 Mei 2008

Partai PSI

Partai PSI telah lolos verifikasi departemen Hukum dan HAM. Sekarang Awak kapal Partai PSI sedang sibuk mempersiapkan verifikasi KPU. Seluruh upaya dan tenaga dikerahkan dalam menghadapi tantangan yang diberikan undang-undang PEMILU 2009. dan Insya ALLAH dengan seizin ALLAH, partai akan bisa menampilkan diri dalam pemilu 2009.
Partai PSI merupakan kelanjutan dari PSI yang telah ikut Pemilu 2004. Partai PSI ini adalah singkatan Partai Persatuan Sarikat Indonesia. Karena Partai ini merupakan kelanjutan dari PSI yang telah pernah ikut pemilu maka, dia memiliki tokoh-tokoh politik yang handal diseluruh Indonesia, terutama didaerah.
Modal dasar yang dimiliki oleh partai PSI ini adalah tokoh-tokoh daerah yang memiliki keuletan dan bekerja secara cerdas. modal sosial yang dimiliki tokoh-tokoh daerah ini akan menjamin Partai PSI mendapat kursi di legistatif.
Partai PSI selalu berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, menegakkan keadilan, membentuk pemerintahan yang bersih.
Walaupun di tingkat DPR RI, pada pemilu yang lalu PSI tidak memiliki wakil, tetapi PSI memiliki 90 anggota DPRD baik tingkat propinsi maupun tingkat kotamadya/ kabupaten.
Dalam beberapa Pilkada, dengan menjalin kerja sama dengan beberapa Partai lain di daerah, Kader PSI telah membuktikan kemampuan dan kapabilitynya dalam memimpin koalisi tersebut.
Oleh karena itu, kami membutuhkan dukungan anda semua, dalam pemilu 2009,
jangan lupa !!